Rabu, 23 Mei 2012

Reformasi Energi dan Perikanan Maluku. Mungkinkah ?

Oleh : Wahada Mony*


Empat belas (14) tahun merupakan tempo perjalanan waktu yang cukup lama. Dimana haluan politik kebijakan negara dalam sebuah desain reformasi belum sepenuhnya terarah sepanjang perjalanan dekade waktu tersebut. Reformasi hingga kini masih terlintas di benak rakyat Indonesia, sejak pecahnya peristiwa tahun 1998 yang dalam catatan sejarah berhasil menumbangkan suatu rezim pemerintahan negara karena lalai mensejahterakan rakyat Indonesia. juga karena menggangap rezim dengan kekuasaan otoritarian telah banyak melahirkan problem bangsa yang cukup akut hingga membuat masyarakat ikut berkorban, ekonomi negara dikuasai pihak asing, pendidikan dan kesehatan rakyat kecil tidak terpenuhi, bahkan kesejahteraan masyarakat yang belum terjamin. Pada akhirnya menuntut sebuah gerakan reformasi di berbagai sektor pembangnan di negara.

Tulisan ini bukan untuk mengupas sejarah panjang reformasi secara historis. Akan tetapi sekedar mereviuw catatan reformasi dan bagaimana kebijakan reformasi pemerintah pusat terhadap pembangunan di Maluku saat ini. Kini di Maluku gerakan reformasi itu tak banyak di sambut hari kebesarannya termasuk oleh kalangan pemuda maupun mahasiswa diseantero Maluku. Semangat reformasi kian begitu sepi ditengah problem lokal yang saat ini melilit daerah yang sepatutnya harus diperjuangkan termasuk dengan membangkitkan kembali semangat gerakan reformasi yang sering dibangun selama ini.

Dalam konteksnya dengan perjalanan reformasi di daerah maka, Bagi Maluku, akan ada dua issue besar yang menjadi problem nasional dewasa ini yang memungkinkan reformasi kebijakan  Pemerintah Pusat dalam menjawab tuntutan pembangunan di daerah yakni reformasi di bidang energi maupun reformasi di bidang perikanan Maluku. Dua sektor ini butuh kebijakan khusus dari Pemerintah Pusat, karena nyatanya, bidang energi maupun sektor perikanan di Maluku masih belum mendapat respons yang baik oleh Presiden selaku Kepala Pemerintahan dinegara. Maka selayaknya masyarakat Maluku begitu giat ingin menuntut kebijakan pemerintah pusat agar fokus kebijakan di bidang energi maupun perikanan di Maluku harus diperhatikan pembangunan sektoralnya.

Reformasi Energi  
Sektor pertambangan dan Energi bagi Maluku, masih menyimpan masalah krusial di pemerintah pusat. Tanggung jawab besar pemerintah pusat dalam mereformasi kebijakan nasional di bidang energi masih setengah hati, artinya pengembangan energi daerah kurang begitu banyak mendapat perhatian pempus. Tengok saja, Nasib Tambang energi besar di (Maluku Barat Daya) MBD Provinsi Maluku masih dipertanyakan. PI 10 % di Blok Masela yang merupakan hak kepemilikan pemerintah Provinsi Maluku masih saja menjadi polemik bersama antara pihak Pertamina, maupun Pemprov NTT. Klaim kepemilikan antara tiga pihak kekuasaan ini masih terus berlanjut namun belum ada kepastian final untuk siapa PI 10 % yang akan diberikan.

Pemerintah Provinsi Maluku malah dihadang ujian berat, tidak hanya dihadang Pertamina maupun Pemda NTT, tapi juga harus menuntut pihak Pemerintah Pusat agar PI 10 % jatuh ke tangan pemerintah daerah Maluku. Kini nasib PI 10 % di Blok Masela tinggal menunggu keputusan pemerintah pusat. Masayarakat Maluku hanya berharap, agar hak kepemilikan itu diberikan kepada Maluku bahkan dinaikan nilai hak kepemilikannya sehingga mampu mempengaruhi peningkatan pembangunan daerah yang dirasakan langsung oleh masyarakt.

Namun ironis memang, perjuangan Pemerintah Daerah Maluku dalam mendorong Pempus atas pemberian hak kepemilikan PI 10 % kepada Maluku terindikasi punya kepentingan besar salah satu pejabat khusus didaerah ini.  Sindikat kuat soal energi di Blok Masela sangat memiliki keterikatan politik yang kuat dengan salah satu kontraktor besar perusahaan ternama di PT SABAS. Dimana perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan ini rencananya akan disiapkan oleh Pemda Maluku dalam mengelola dan menggarap tambang energi yang berada di kawasan Blok Masela tersebut. Pemilik perusahaan yang juga katanya salah satu kader PDIP ini  juga ternyata memiliki relasi politik dengan orang nomor satu di daerah ini. Sehingga proyeksi pengelolaan migas energi di Blok Masela akan menguntungkan kelompok tetrtentu.

Kondisi ini bukan tanpa diduga, tapi besar kemungkinan transaksi politik energi akan mengauat pada saat pembagain hasil dari 10 % yang dijanjikan tersebut. Oleh karena itu, orientasi kebijakan dalam pengelolaan energi dengan jatah PI 10 % di Blok Masela sudah dipastikan akan menguntungkan para pejabat besar di Maluku tersebut.

Belum lagi dampak krusial diatas akan membuka keran potensi pengelolaan energi PI 10 % Blok Masela akan dibawah kekuasaan para mafia energi di Maluku. Artinya, transaksi politik dalam pengelolaan ekonomi energi antara mafia energi dengan pemerintah daerah tak akan terhindarkan. Dengan perhitungan mega proyek Blok Masela cukup menggiurkan nilai profitnya.  Oleh karena itu, PI 10 % bagi masyarakat Maluku akan tidak ada manfaatnya, pasalnya yang mengelola hak-hak kepemilikan energi tersebut langsung diambil kelola oleh para broker dan mafia energi yang sudah diatur oleh pemerintah daerah Maluku. Tentu rakyat tidak akan diuntungkan dari sisi kepemilikannya malah semakin membuat pejabat di Maluku ikut kaya dalam proyek ini. 

Tidak hanya problem pengelolaan migas yang akan menguntungkan para elite, tapi masalah lain yang juga hadir di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Maluku. Perusahaan daerah ini cukup impotensial terhadap konsep pengembangan energi di Blok Masela. Paslnya, orang-orang yang duduk dalam perusahaan daerah itu adalah para politisi yang tidak mempunyai besik strtegi pengembangan dan pengelolaa tambang energi di Maluku. Di kawatirkan proyek di Blok Masela akan menjadi lahan profit bagi pejabat di perusahaan daerah tersebut. Bagaimana ingin mengelola potensi pertambangan energi jika perusahaan daerah Maluku di kuasai dan diapit oleh para politisi di daerah. Sangat mustahil memang jika melihat fenomena kepemimpinan di daerah ini. Semua proyek  besar dibangun dan dikelola dengan punya hasrat kepentingan elit daerah tapi tidak untuk kemaslahatan umat di Maluku. Mau jadi apa negeri ini, jika perilaku birokrat maupun pejabat daerah hanya mengejar keuntungan proyek semata.

Oleh karena itu, butuh reformasi kepemimpinan di badan perusahaan daerah tersebut, agar transformasi pengelolaan energi bisa terkelola secara baik. Hal ini perlu dikaji kembali oleh pemerintah daerah terhadap struktur politik kekuasaan di badan perusahaan daerah itu. Juga manajemen pengelolaan energi yang disiapkan pemerintah daerah Maluku agar tidak bersanding dengan para mafia energi. Niscaya ekspektasi pengelolaan PI 10 % dari Blok Masela yang diperoleh oleh Maluku mampu menjembatani pembangunan di Maluku. 

Reformasi Perikanan
Selain reformasi energi yang disebutkan diatas, Perikanan Maluku juga sangat membutuhkan aspek kebijakan baru yang strategis. Terhadap Lumbung Ikan Nasional (LIN) yang masih harus diperjuangkan butuh kebijakan khusus dari Pemerintah Pusat. Kenapa cerita soal Payung Hukum masih lemah, karena Maluku tidak hanya dinilai dari daya pressure politiknya, akan tetapi kesiapan SDM di bidang perikanan yang kurang mumpuni, membangun struktur pembangunan perikanan yang belum disipakan, serta industri perikanan yang juga harus di bangun juga belum terbangun.

Hal ini dianggap penting sehingga menarik perhatian pemerintah pusat untuk memberikan pemberlakuan LIN di Provinsi Maluku. Jika Maluku memiliki potensi dan penghasil ikan cukup besar, maka sejatinya harus didukung dengan daya infrstruktur pembangunan Perikanan yang memadai pula. Sehingga ikut bersinergi dalam membangun pembangunan perikanan Maluku sebagai kawasan daerah penghasil ikan terbesar di Indonesia.

Pemerintah daerah Maluku sudah saatnya harus membanguan infrastruktur pembangunan perikanan didaerah termasuk membangun kawasan industri bagi pengolahan ikan di Maluku. Langkah ini sangat dinilai penting terhadap prasarat pembangunan perikanan dalam kesiapan Pemda Maluku menyambut Lumbung Ikan Nasional. Hal ini kemudian tentu akan menguji komitmen politik pemerintah daerah yang  dalam mereformasi kebijakannya di tingkat lokal jika ingin tetap mengharapkan LIN untuk diberlakukan di Maluku. Sehingga upaya pempus dalam mengembangkan kawasana perikanan Maluku dapat dijawab dengan pemberlakuan LIN bagi Maluku.

Maluku kini diakui secara defakto sebagai daerah yang memiliki luas laut yang sangat besar, artinya potensi ikan juga ikut bergelimpangan didalmnya. Dalam artian, Maluku butuh kebijakan khusus tentu untuk merubah paradigm pembangunan yang awalnya dicanangkan berdasar luas kontinental, harus mereformasi kedalam kebijakan dengan dihitung luas laut yang diperioleh. Ini tentu ikut mereposisi kebijakan pempus agar lebih melihat kondisi perikanan Maluku.  Bukan hanya memberikan janji dan pepesan kosong yang tak ada artinya bagi Maluku dengan pencanangan daerah sebagai Lumbung Ikan Nasional. Sehingga reformasi kebijakan pempus di bidang perikanan harus segera di rubah mainset kebijakannya di bidang kelautan khususnya di Provinsi Maluku.

Oleh karena itu, dalam membangun karakter pembangunan sektoral di Maluku maka, kedua momentum issue besar diatas juga harus didukung dengan perubahan karakter kebijakan reformasi yang sentralistis dari bidang pengembangan kawasan energi dan perikanan menjadi kawasan terpadu pengembangan di Maluku. Segala kepentingan hak politik masyarakat Maluku akan terpenuhi jikalau pemerintah daerah dari aspek kesiapan dan manajemen kepemimpinannya ikut berbenah sehingga fokus kebijakan pempus juga akan diperhatikan di dua sektor ini.

*   Penulis adalah Pengurus HMI Cabang Ambon Wakil Sekretaris Umum bidang Partisipasi Pembangunan Daerah (PPD) Periode : 2012-2013

Senin, 21 Mei 2012

SEJARAH KOTA AMBON



Pada tahun 1575, saat dibangunnya Benteng Portugis di Pantai Honipopu, yang disebut Benteng Kota Laha atau Ferangi, kelompok-kelompok masyarakat kemudian mendiami sekitar benteng. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut kemudian dikenal dengan nama soa Ema, Soa Kilang, Soa Silale, Hative, Urimessing dan sebagainya. Kelompok-kelompok masyarakat inilah yang menjadi cikal bakal terbentuknya Kota Ambon. Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok masyarakat tersebut telah berkembang menjadi masyarakat Ginekologis territorial yang teratur. Karena itu, tahun 1575 dikenal sebagai tahun lahirnya Kota Ambon. Pada tanggal 7 September 1921, masyarakat Kota Ambon diberi hak yang sama dengan Pemerintah Colonial, sebagai manifestasi hasil perjuangan Rakyat Indonesia asal Maluku. Momentum ini merupakan salah satu momentum kekalahan politis dari Bangsa Penjajah dan merupakan awal mulanya warga Kota Ambon memainkan peranannya di dalam Pemerintahan seirama dengan politik penjajah pada masa itu, serta menjadi modal bagi Rakyat Kota Ambon dalam menentukan masa depannya. Karena itu, tanggal 7 September ditetapkan sebagai tanggal kelahiran Kota Ambon.
Sejarah Penentuan Lahirnya Kota Ambon
Hari lahir atau hari jadi kota Ambon telah diputuskan jatuh pada tanggal 7 September 1575 dalam suatu seminar di Kota Ambon. Bagaimana penentuan hari jadi kota kita yang telah berumur ratusan tahun itu, sejarahnya dapat dijelaskan sebagai berikut : Bahwa yang mengambil inisiatif atau gagasan untuk mencari dan menentukan hari jadi atau hari lahir Kota Ambon adalah Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Ambon Almarhum Letnan Kolonel Laut Matheos H. Manuputty (Walikota yang ke- 9).
Untuk itu dikeluarkannya Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah tingkat II Ambon tertanggal 10 Juli 1972 nomor 25/KPTS/1972 yang diubah pada tanggal 16 Agustus 1972, yang isinya mengenai pembentukan Panitia Khusus Sejarah Kota Ambon dengan tugas untuk menggali dan menentukan hari lahir kota Ambon. Kemudian dengan suratnya tertanggal 24 Oktober 1972 nomor PK. I/4168 selaku Panitia Khusus Sejarah Kota Ambon menyerahkan tugasnya itu kepada Fakultas Keguruan Universitas Pattimura untuk menyelenggarakan suatu seminar ilmiah dalam rangka penentuan hari lahir Kota Ambon.
Selanjutnya pada tanggal 26 Oktober 1972 Pimpinan Fakultas Keguruan mengadakan rapat dengan pimpinan Jurusan Sejarah dan hasilnya adalah diterbitkannya Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan Universitas pattimura tertanggal 1 Nopember 1972 nomor 4/1972 tentang pembentukan Panitia Seminar Sejarah Kota Ambon. Seminar sejarah ini berlangsung dari tanggal 14 sampai dengan 17 Nopember 1972, dihadiri oleh kurang lebih dua ratus orang yang terdiri dari unsur-unsur akademis, Tokoh Masyarakat dan Tokoh adat serta aparat Pemerintah Kodya Ambon maupun Provinsi Maluku.
Susunan Panitia seminar dicatat sebagai berikut ;
Ketua
Drs. John Sitanala (Dekan Fakultas Keguruan)
Wakil Ketua
Drs. John A. Pattikayhatu (Ketua jurusan Sejarah)
Sekretaris
Drs. Z. J. Latupapua (Sekretaris Fakultas Keguruan)
Seksi Persidangan yang terdiri dari tiga kelompok
  • Kelompok I diketuai Thos Siahay, BA.
  • Kelompok II diketuai Yoop Lasamahu, BA
  • Kelompok III diketuai Ismail Risahandua, BA
Panitia Pengarah/Teknis Ilmiah diketuai oleh Drs. J.A. Pattikayhatu,
  1. Drs. Tommy Uneputty
  2. Drs. Mus Huliselan
  3. Drs. John Tamaela
  4. Dra. J. Latuconsina
  5. Sam Patty, BA
  6. I. A. Diaz
Pemakalah terdiri dari 7 orang, 3 dari Pusat dan 4 dari daerah
  1. Drs. Moh. Ali (Kepala Arsip Nasional)
  2. Drs. Z. J. Manusama (Pakar Sejarah Maluku)
  3. Drs. I. O. Nanulaita (IKIP Bandung)
  4. Drs. J. A. Pattikayhatu (Fakultas Keguruan Universitas Pattimura)
  5. Drs. T. J. A. Uneputty (Fakultas Keguruan Universitas Pattimura)
  6. Drs. Y. Tamaela (Fakultas Keguruan Universitas Pattimura)
  7. Dra. J. Latuconsina (Fakultas Keguruan Universitas Pattimura)
Seminar berlangsung dari tanggal 14 sampai 17 Nopember 1972 itu akhirnya menetapkan hari lahir kota Ambon pada tanggal 7 September 1575. Bahwa tahun 1575 diambil sebagai patokan pendirian kota Ambon ialah berdasarkan fakta-fakta sejarah yang dianalisa dimana sekitar tahun tersebut sudah dimulai pembangunan benteng “Kota Laha” didataran Honipopu dengan mengerahkan penduduk di sekitarnya oleh penguasa Portugis seperti penduduk negeri / desa Kilang, Ema, Soya, Hutumuri, Halong, Hative, Seilale, Urimessing, Batu Merah dll. Benteng Portugis yang dibangun diberi nama “Nossa Senhora de Anuneiada”. Dalam perkembangannya kelompok pekerja benteng mendirikan perkampungan yang disebut “Soa” Kelompok masyarakat inilah yang menjadi dasar dari pembentukan kota Ambon kemudian (Citade Amboina) karena di dalam perkembangan selanjutnya masyarakat tersebut sudah menjadi masyarakat geneologis teritorial yang teratur.
Pemukiman dan aktifitas masyarakat disekitar Benteng makin meluas dengan kedatangan migrasi dari utara terutama dari Ternate, baik orang-orang Portugis maupun para pedagang Nusantara sebagai akibat dari pengungsian orang-orang portugis dari kerajaan Ternate yang dipimpin oleh Sultan Baabullah. Peristiwa kekalahan Portugis tersebut membawa suatu konsekuensi logis dimana masyarakat di sekitar Benteng Kota Laha itu makin bertambah banyak dengan tempat tinggal yang sudah relatif luas sehingga persyaratan untuk berkembang menuju kepada sebuat kota lebih dipenuhi.
Selanjutnya tentang penetapan tanggal 07 September didasarkan pada peninjauan fakta sejarah bahwa pada tanggal 07 September 1921 , masyarakat kota Ambon diberikan hak yang sama dengan Pemerintah Kolonial Belanda sebagai hasil manifestasi perjuangan Rakyat Indonesia asal Maluku di bahwa pimpinan Alexander Yacob Patty untuk menentukan jalannya Pemerintahan Kota melalui wakil-wakil dalam Gemeeteraad (Dewan Kota) berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal tanggal 07 September 1921 nomor 07 (Staatblad 92 Nomor 524). Ditinjau dari segi politik nasional, momentum ini merupakan saat penentuan dari Pemerintahan Kolonial Belanda atas segala perjuangan rakyat Indonesia di Kota Ambon yang sekaligus merupakan suatu momentum kekalahan politis dari bangsa penjajah. Ditinjau dari segi yuridis formal, tanggal 07 September merupakan hari mulainya kota memainkan peranannya di dalam pemerintahan seirama dengan politik penjajah dewasa itu. Momentum inilah yang menjadi wadah bagi rakyat Kota Ambon di dalam menentukan masa depan. Dilain pihak, kota Ambon sebagai daerah Otonom dewasa ini tidak dapat dilepaspisahkan daripada langka momentum sejarah.
Setelah Seminar Sejarah Kota Ambon yang berlansung tanggal 14 sampai 17 Nopember 1972 berhasil menetapkan tanggal 7 September 1575 sebagai Hari lahir Kota Ambon, maka untuk pertama kalinya pada tanggal 7 September 1973 Hari lahir Kota Ambon diperingati.

RUU Provinsi Kepulauan Telah Disahkan DPR-RI

Rancangan Undang-Undang (RUU) Provinsi Kepulauan telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).
Pengesahan dilakukan dalam sidang paripurna yang berlangsung, Kamis (12/4). “Setelah DPR-RI mengesahkan RUU ini maka dalam minggu ini juga DPR-RI akan mengirimnya ke pemerintah untuk dimintai tanggapan terhadap usulan RUU ini,” jelas anggota DPR-RI Daerah Pemilihan Maluku, Alex Litaay kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Sabtu (14/4).
DPR-RI memberikan waktu kepada pemerintah selama dua bulan, bulan Mei-Juni untuk menyusun tanggapan. “Tanggapan pemerintah harus dimasukan pada awal bulan Juli,” ujar Litaay.
Litaay menambahkan, DPR-RI mengupayakan agar sebelum 17 Agustus 2012, RUU Provinsi Kepulauan ini telah disahkan menjadi UU. “Ini merupakan hadiah Proklamasi Kemerdekaan RI kepada tujuh provinsi kepulauan yang mengusulkan RUU ini,” katanya.
Sebelumnya, Litaay kepada Siwalima, menjelaskan, ada dua hal yang menarik dan paling strategis jika RUU Provinsi Kepulauan ini disahkan menjadi UU, Pertama, tentang luas wilayah. Jika pemerintah menerima RUU ini maka, luas wilayah Maluku akan bertambah, sebab laut Maluku juga dihitung masuk dalam Dana Alokasi Umum (DAU), sehingga dengan sendirinya DAU Maluku akan bertambah.
Kedua, Ada dana khusus bagi Maluku yaitu dana percepatan yang besarnya setara dengan 1 persen dari plafon DAU nasional. Dana ini khusus tidak boleh dipergunakan selain untuk pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.
“Saya contohkan jika APBN kita di tahun 2011 sebesar 250 triliun, maka 10 persennya sebesar 25 triliun dan satu persennya sebesar 2,5 triliun. Dana sebesar 2,5 triliun ini akan diberikan kepada Maluku, namun apabila tiap tahunnya APBN naik maka dana ini juga ikut naik,” jelas Litaay. (S5)


Sumber : http://balagu.com/node/6329

RUU Daerah Kepulauan Untuk Daerah Kepulauan

Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan mengusulkan pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Kepulauan sebagai upaya yuridis untuk dapat memberdayakan dan mengangkat masyarakat di daerah kepulauan dari kemiskinan dan kemelaratan. Pengaturan hukum untuk daerah kepulauan tersebut penting mengingat di samping provinsi kepulauan terdapat pula kabupaten/kota kepulauan yang berada dalam daerah provinsi yang bukan kepulauan.
“Perlakuan khusus terhadap daerah kepulauan (provinsi dan kabupaten/kota) menyangkut kebijakan pemerintah terhadap penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat,” ujar Ketua Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan Karel Albert Ralahalu yang juga Gubernur Maluku, saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/1).
Ketua Komite I DPD Dani Anwar menyatakan bahwa Komite I DPD mendukung pemerataan dan keadilan untuk daerah kepulauan, baik daerah kepulauan provinsi maupun daerah kepulauan kabupaten/kota. “Kami sepakat dan bersemangat memperjuangkan RUU Daerah Kepulauan,” ujarnya, didampingi Ketua Tim Kerja (Timja) RUU Daerah Kepulauan Jacob Jack Ospara.
Karel menegaskan, urgensi RUU Daerah Kepulauan menyangkut substansi bahwa daerah kepulauan memiliki karakteristik yang berbeda dengan daerah kontinental sehingga model pembangunannya, terutama pembangunan infrastruktur, juga berbeda. Selama ini perhatian terhadap pembangunan ekonomi dan bidang lainnya terlambat di daerah kepulauan dan masyarakatnya terisolir. Selain karakteristiknya berbeda, substansi lainnya ialah amanat Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, dan Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan mendefenisikan daerah kepulauan sebagai wilayah yang memiliki karakteristik akuatik teresterial (lautan lebih luas dari daratan) seperti Provinsi Maluku yang 92,6% wilayahnya laut, Provinsi Kepulauan Riau 96%, Provinsi Nusa Tenggara Timur 80,8%, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 79,9%, Provinsi Nusa Tenggara Barat 59,13%, Provinsi Sulawesi Utara 95,8%, dan Provinsi Maluku Utara 69%. Selain akuatik teresterial, wilayah di Indonesia terbagi atas wilayah yang memiliki karakteristik teresterial (seluruhnya daratan) dan terestrial aquatik (daratan lebih luas dari lautan).
Menurut Karel, realitas karakteristik daerah kepulauan tersebut memastikan bahwa sumberdaya alam yang dominan ialah sumberdaya perikanan dan kelautan. Masalahnya, provinsi dan kabupaten/kota kepulauan tidak mendapatkan manfaat langsung pengelolaan sumberdaya alamnya, terutama perikanan. Misalnya, tidak mendapatkan proporsi dana bagi hasil perikanan, infrastruktur kelautan belum memadai untuk ekspor, serta kebijakan pembangunan berorientasi kontinental sangat merugikan daerah kepulauan.
“Wilayah terestrial dan terestrial aquatik memiliki banyak kemudahan ketimbang wilayah aquatik terestrial. Di wilayah aquatik terestrial yang dikenal sebagai daerah kepulauan, masyarakatnya cenderung terisolir karena tidak memiliki akses di berbagai bidang terutama pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik dan sosial budaya. Jika demikian, daerah kepulauan membutuhkan upaya yuridis untuk dapat memberdayakan dan mengangkat masyarakatnya dari kemiskinan dan kemelaratan,” sambungnya.
Upaya yuridis untuk daerah kepulauan merupakan pengaturan normatif sebagai perlakuan khusus. Contohnya, pengaturan dana bagi hasil perikanan yang memperhitungkan persentase tertentu, kewenangan daerah kepulauan mengeluarkan perizinan bidang perikanan dan kelautan, pembangunan kawasan industri kelautan berbasis gugus kepulauan, serta melindungi sumberdaya alam di laut agar terjaga potensi lestarinya.
Karel menegaskan, guna memastikan hukum pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di laut serta mengupayakan tertib administrasi, dilakukan kadasterisasi (pemetaan) wilayah laut yang meliputi pengukuran, penataan dan pembukuan hak dan perolehannya, serta pembuatan dan pemberian surat bukti. Kepastian hukum antarpemerintah (pusat dan daerah) serta antara pemerintah dan kesatuan masyarakat hukum adat.

Sumber: http://hukum.kompasiana.com/2012/02/07/ruu-daerah-kepulauan-untuk-daerah-kepulauan/
Kewenangan daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam di laut dilakukan dengan mengatur kadasterisasi tersebut. Hak atas wilayah laut yang menjadi obyek kadasterisasi meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan perairan pesisir, hak tanggungan, laut negara, dan hak pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah.

Minggu, 20 Mei 2012

AKAR KEKERASAN


Sejarah merupakan cerita ”penderitaan” manusia, seperti dinyatakan oleh Berger (1982), menjadi sesuatu yang harus direnungkan. Moderenitas yang ditandai dengan Revolusi industri, secara halus menghilangkan dimensi metafisis dan tidak meniscayakan yang lain, kecuali munculnya keputusan – keputusan hedonis dan utilitarian yang lebih bersifat materialistik. Ambisi untuk berkuasa telah memperoleh legitimasi filosofisnya, sehingga kekuasaan manusia bukan lagi bersifat ”khalifah sentra semesta yang bersahaja dalam mengembangkan amanah Tuhan” di muka bumi, melainkan sebagai ”king of jungle” dalam belantara, yang memacu dan mengumbar kehendak – kehendak hewaniah.
Semuanya harus kompetitif karena tak ada lagi bagi manusia yang mau kalah dan mengalah. Simbol surbibalitas, baik berupa jabatan politik, penguasaan ekonomi dan lain – lain harus diraih sekalipun secara free value. individualistik tanpa toleransi; menusia mengalami alienasi di tengah ”alam kedua” ciptaannya sendiri (Errich From). Celakanya klaim kapitalistik justru menyatakan bahwa bentuk peradaban ini adalah bentuk terakhir peradaban manusia tanpa harapan reformatif. Sejarah telah mati (the end of history), demikian ungkap Francis Fukuyama. Manusia harus mengalami kehidupan yang absurd tanpa harapan yang futuristic tandas Albert Camus, sehingga harus merasa cukup dengan pola pemikiran skeptis nihilistic here and now, di sini dan sekarang tambah Derida. Akibatnya manusia mengalami anarkisme social, dehumanisasi tanpa ruangan bagi kebutuhan rasa amannya. Imperialime abad pertengahan kini menjelma lagi dalam bentuk kekerasan dan keberingasan seperti akhir-akhir ini.
Tak berlebihan August Comte, Rene Descartes, dan para perintis pemikir modern lainnya, memproklamirkan bahwa modernitas merupakan kritik atas kegagalan peran agama, hingga mendorongnya menepiskan bidang metafisis. Titik kritis itu semakin tampak ketika Karl Marx mandapatkan pendeta – pendeta jemaat gereja di roma yang menganjurkan masyarakat agar menyisihkan sebagian besar harta mereka untuk keperluan gereja namun mereka sendiri menggunakannya dan hidup bergelimpangan harta, hingga klimaksya Marx memproklamirkan bahwa ”agama adalah candu masyarakat”. Hal ini semakin eksplisit ketika Friederch Eilhelm Nietzshe menyatakan ”God is Dead”, tuhan telah mati. Menurut Schummacer, matinya Tuhan meniscayakan komitmen tidak kepada sesuatu pun, kecuali kehendak untuk berkuasa (the will to power).

By. I-mout Tarantula

TUAN ANDA HARUS BUBAR

Tuan,
Padahal Tuan baru saja memanah singa berbulu putih
Berbulu merah
Berbulu biru
Lalu turut pula Tuan sajikan dagingnya di atas meja bundar
Buat sarapan Ibu Pertiwi selepas upacara bendera 29 Desember 1949
Di Istana Merdeka Jakarta
Pagi itu

Tapi, Tuan?!
Empat puluh enam ekor musang berbulu ayam
Datang dengan membawa dua puluh tiga helai kertas kematian
Mereka menggenggam godam
Mereka menggenggam godam dan sabit yang berkubang darah
Mencari Tuan

Tuan keras kepala (?)
Tuan mata-mata (?)
Tuan pembohong dan sombong (?)
Seperti Masyumi dan GPII
Tuan harus bubar (?)

Di kepala Tuan setel peci
Berseru seperti ombak menderu
Di leher Tuan kalung selempang meradang
Berkobar bagai api membakar
Menghujam panji Indonesia
Membunyikan bel Tritura:
Bubarkan PKI
Restooling kabinet
Turunkan harga

Sekarang awan kelabu di senja hari
Tapi Tuan masih berdiri
Menanti
Entah kapan
(Rahman Renwarin, Tuan Harus Bubar, 2012)

Dibacakan pada Malam Dies Natalis HMI ke-65, HMI Komisariat Sejajaran Cabang Ambon, di Pelataran Gelanggang Olahraga IAIN Ambon, 5 Februari 2012.

Sabtu, 12 Mei 2012

LUKA KITA

Luka kita begitu indah
Karenanya aq kecup ia dengan darahku
Agar perih kita menyatu
agar rasa kita berbaur
dalam luka, suka dan duka
dan gemuruh beliung itu
bergulung gulung
mengulang memoar
saat dunia itu terlukis
hingga perih mengikis
di dadamu
di dadaku
dada kita

Luka itu begitu manis
karenanya kuslimuti ia dengan sepi
Hijau dan Hitam melebur
tanpa pengurangan,
tanpa perkalian,
pun pembagian,
tanpa rumus fisikal

Luka itu bagitu romantis
walau pun smakin miris
juga puyuh smakin piyuh
tak peduli kau dan aku
kedinginan..
merindu..
menderu..

Luka kita
menderu rindu
deru-rindu nafasmu dan nafasku
Nafas Perjuangan kita

By. I-Mout Tarantula

Nasib "LIN" di Tangan Siapa ?

Nasib "LIN" di Tangan Siapa *
Oleh : Wahada Mony **

Argumentasi judul tulisan diatas patut dipertanyakan publik Maluku. Setelah dua tahun lalu masyarakat Maluku baru saja melewati susksesnya ivent Sail Banda yang prestisius pada 2010 lalu.  Salah satu paket kebijakan nasional yang di usung kala itu yakni, Maluku Siap menjadi Daerah Lumbung Ikan nasional (LIN). Kini sudah dua tahun janji Pempus dalam pemberlakuan LIN di Maluku masih menjadi pekerjaan rumah besar.  Tak pasti kapan komitmen pemerintah pusat dalam merealisasikan issue agenda tersebut, kini masih menjadi teka-teki politik di Daerah. Siapa pihak yang harus di salahkan, apakah Pemda yang memiliki nilai bargaining lemah di Pempus, ataukah Pempus yang enggan dan sibuk dengan urusan kebijakan pemerintahan negara lainnya?, ataukah benar ada faktor lain yang profit dan menjanjikan namun tak kesampaian hingga membuat Pemerintah Daerah (Pemda) hilang kendali gairah politiknya ?.

Beberapa pertanyaan krusial diatas butuh kajian panjang untuk dijawab, meskipun LIN sampai saat ini masih harus diperjuangkan untuk kepentingan pembangunan Maluku di masa depan. Artinya, masih ada prospek nilai pembangunan terutama di sektor pengembangan perikanan yang ekspektatif bagi pemerintah daerah untuk memperjuangkan eksistensi LIN di daerah.  

Kini status keberadaan LIN di Provinsi Maluku butuh dorongan kuat secara massif di daerah untuk dinaikan tingkat perjuangannya menjadi satu kebijakan pempus. Untuk itu, issue LIN harus menjadi konsumsi publik secara kolektif bukan hanya pada tataran para pengambil kebijakan di daerah ini.

Fenomena LIN di Maluku
Saat pelaksanaan Sail Banda tahun Lalu, Pemerintah Daerah Maluku cukup getol mengkampanyekan program LIN kepada pemerintah pusat. Akan tetapi, belakangan semangat keinginan Pemda terlihat mulai susut. Bahkan issu dalam membangun wacana LIN di daerah kian sepi dari peredaran publik. Justru masyarakat patut menduga potensi keinginan dari sikap pemda di balik perjuangan dan keinginan keras dalam melobi LIN tersebut.

Di satu sisi, Pemerintah daerah bisa dibilang terkesan memaksakan kehendak pemerintah pusat untuk merealisasikan program kebijakan LIN di daerah. Hal ini tanpa didukung dengan kesiapan pemda secara matang dalam menyonsong kebijakan khusus LIN tersebut. Namun dilain sisi juga baik pemda maupun pempus butuh aturan main guna mengatur arah dan konsepsi nasional pembangunan Lumbung Ikan Nasional bagi Maluku.

Pemda hanya berharap, dengan LIN bagi Maluku akan membuka keran dan kesenjangan pembangunan di sektor Perikanan dan Kelautan. Ada kebijakan anggaran khusus pempus yang sepatutnya layak siap kelola untuk proses pengembangan kawasan sektor ini. sehingga kebijakan budgetingnya turut mengakomodasi seluruh kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Namun secara ekonomis, konsep LIN malah akan menjadi lahan profit bagi elit lokal di Maluku. Cukup ironis memang, jika pemda dalam melobi akses kebijakan LIN tercium “bau tak sedap” dari dalam gedung pemerintah daerah tersebut. Lobi-lobi politik proyek seakan tak terhindarkan dalam job ini. hal ini bukan tanpa alasan.  

Kampanye LIN bagi pemerintah daerah sendiri belum ditemukan seiring dengan format pembangunan yang terarah dan siapp di canangkannya. Baik dari aspek kesiapan pemerintah daerah dalam pengembangan kawasan padat karya perikanan, manajemen dan strategi pengelolaan anggaran perikanan, peningkatan pendapatan nelayan pesisir hingga pencapaian target pembangunan perikanan yang terpadu. Bisa dikatakan, Pemerintah hanya mengejar target nilai persentasi dari kebijakan budgeting LIN di Maluku tanpa tujuan pembangunan yang pasti. Hal ini bukan lagi menjadi rahasia umum bagi publik Maluku. Oleh karena itu, lambannya program LIN diberlakukan di Maluku karena hitung-hitungan angka fee budgeting yang harus di peroleh kedalam program paket LIN tersebut.

Kelemahan pemerintah daerah juga dalam mendorong perjuangan LIN di Maluku juga tidak serta merta diikuti dengan terobosan kebijakan politik pemda yang siap dan layak jual kedalam konsepsi pembangunan lokal. Adanya kelembagaan maupun hak-hak masyarakat adat pesisir yang minim teroragnisir bahkan tak terlihat sama sekali. Yang dikhawatirkan, Kedepan LIN akan membuka lahan korupsi baru bagi pemerintahan daerah. Maka akan berdampak pada destrukturisasi pembangunan perikanan Maluku secara massif. Selain kurang koordinasinya desaign konsep pembangunan perikanan dengan hak luas laut daerah yang dipunyai sebesar 12 Mil dari garis pantai, laut perikanan Maluku yang di garap habis akibat beroperasinya kapal-kapal besar asing dengan tonase besar di selat-selat sempit tanpa pembatasan. Ini yang sesungguhnya pemerintah daerah tanpa kesiapan justru mala mengarahkan liberalisasi perikanan laut Maluku yang mengabaikan masyarakat lokal di daerah.

Kini kiprah LIN semakin redup nasibnya, pemerintah daerah tidak lagi giat mempresurenya ke tingkat pemerintah pusat dalam bentuk kebijakan khusus pemerintah. Karena merasa kurang diperhatikan pempus, pemerintah daerah malah justru membalikan tangan tanpa mempedulikannya. Karena Jika orientasi mementingkan kesejahteraan rakyat di daerah maka bukan tanpa alasan untuk memperjuangkannya. Tapi penulis menduga, justru pembagian jatah fee budgeting yang dikejar pemda untuk kepentingan high elite lokal di Maluku.

Belum lagi kebijakan LIN di pemerintah pusat yang masih terbentur Peraturan Pemerintah Pusat. Artinya pempus secara nasional masih kurang meresponi pemberlakuan LIN di Maluku. Tentu butuh pressure secara politik dari seluruh elemen masyarakat Maluku upaya mendorong pempus dalam melegalkan eksistenasi LIN sebagai kebijakan khusus di Maluku. Meskipun terjadi peralihan nahkoda kepemimpinan di kemeterian perikanan dan kelautan pada reshuffle kabinet lalu. Reformasi kebijakan LIN harus terus di perjuangkan demi kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakt di Maluku.    

Kini usia pemerintahan kepemimpinan Ralahalu-Assagaf (RASA) hanya tinggal satu tahun lagi. Tahta kekuasaan pun sebentar lagi akan ditinggalkan oleh kedua penguasa daerah ini. untuk itu, LIN tinggal menunggu etape perjuangan selanjutnya dari kepemimpinan ini. Jika tidak meloloskan LIN di Maluku dalam sisa waktu masa pemerintahan ini maka, sejatinya nasib LIN bak mimpi di siang bolong bagi pemerintah daerah.

Yang di takutkan sekarang, justru LIN mala akan digadang-gadang menjadi strtegi politik nantinya bagi perhelatan gubernur pada 2013 mendatang. Sungguh malang nasib LIN di Maluku, sudah tidak dipedulikan malah  akan menjadi korban strategi politik bagi calon gubernur mendatang guna mendongkrak popularitas kandidat. Benarkah LIN hanya sebatas mimpi kososng pemerintah daerah Maluku, Wallahu alam Bishawab. 

*    Tulisan ini pernah dimuat di Harian Pagi Ambon Ekspres
**  Penulis adalah Wakil Sekretaris Umum Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah (PPD) HMI  
      Cabang Ambon Periode 2012-2013

Jumat, 11 Mei 2012

VISI KEPENGURUSAN HMI CABANG AMBON 2012-2013


Berangkat dari pijakan bahwa Islam sebagai azas organisasi dan merupakan  ajaran yang haq dan sempurna dengan Nilai Dasar Perjuangan sebagai doktrin perjuangan Himpunan dan Iman, Ilmu dan Amal yang merupakan penjabaran kompleks dari doktrin tersebut yang semuanya mengarah pada terciptanya kemaslahatan hidup di dunia baik secara induvidu maupun kolektif.
Dalam konteks globalisasi dewasa ini, dari Islam dapat dipetik beberapa ajaran yang dapat menjadi acuan. Pertama Menganjurkan manusia untuk menyebar ke muka bumi untuk mencari Rizki Allah. Kedua Mengajarkakn manusia Berlomba lomba dalam Kebaikan. Ketiga Mewajibkan Umat Muslim Untuk menimba Ilmu sampai Akhir hayat. Keempat Selalu Memperbaiki Kualitas kerja Menganjurkan Kerja sama dan Menolak Bersekongkol dengan Kejelekan.
Selain pijakan di atas, dan untuk mengejawentahkan doktrin tersebut dalam ruang lingkup yang lebih kecil nan kompleks, HMI cabang Ambon pada periode kali ini merumuskan suatu rumusan strategis menuju sistematifikasi kultur kecendikaan HMI yang progresif dalam membangun daerah, umat dan bangsa. diantaranya :

Mengatur Pola perkaderan dari orientasi structural menuju orientasi kultural. Untuk itu, doktrin-doktrin perkaderan yang semata memiliki asumsi struktural, mesti dikikis seara proposional. Hal ini menjadi penting agar orang tidak mengikuti LK II atau LK III semata hanya untuk memburu jabatan.
Menghidupkan kembali lembaga-lembaga kekaryaan yang saat ini terkesan mati suri dan tidak dipedulikan. Lembaga-lembaga kekaryaan inilah yang kemudian menjadi lokomotif pembentuk kader cendekia yang profesional progresif dalam spesifikasi akademiknya.
Membangun kultur gerakan Epistemologi di tingkat perguruan tinggi dan kelompok-kelompok masyarakat.
Merancang pola pengelolaan Organisasi berbasis Manajemen IT.

 Dengan empat pilar itulah yang nantinya menjadi tolak ukur program kerja kepengurusan ini kedepan. Sehingga dari situlah akan terasah kreasi intelektual progresif dengan berlandaskan Iman, Ilmu dan Amal sebagai doktrin perjuangan Himpunan.