Rabu, 23 Mei 2012

Reformasi Energi dan Perikanan Maluku. Mungkinkah ?

Oleh : Wahada Mony*


Empat belas (14) tahun merupakan tempo perjalanan waktu yang cukup lama. Dimana haluan politik kebijakan negara dalam sebuah desain reformasi belum sepenuhnya terarah sepanjang perjalanan dekade waktu tersebut. Reformasi hingga kini masih terlintas di benak rakyat Indonesia, sejak pecahnya peristiwa tahun 1998 yang dalam catatan sejarah berhasil menumbangkan suatu rezim pemerintahan negara karena lalai mensejahterakan rakyat Indonesia. juga karena menggangap rezim dengan kekuasaan otoritarian telah banyak melahirkan problem bangsa yang cukup akut hingga membuat masyarakat ikut berkorban, ekonomi negara dikuasai pihak asing, pendidikan dan kesehatan rakyat kecil tidak terpenuhi, bahkan kesejahteraan masyarakat yang belum terjamin. Pada akhirnya menuntut sebuah gerakan reformasi di berbagai sektor pembangnan di negara.

Tulisan ini bukan untuk mengupas sejarah panjang reformasi secara historis. Akan tetapi sekedar mereviuw catatan reformasi dan bagaimana kebijakan reformasi pemerintah pusat terhadap pembangunan di Maluku saat ini. Kini di Maluku gerakan reformasi itu tak banyak di sambut hari kebesarannya termasuk oleh kalangan pemuda maupun mahasiswa diseantero Maluku. Semangat reformasi kian begitu sepi ditengah problem lokal yang saat ini melilit daerah yang sepatutnya harus diperjuangkan termasuk dengan membangkitkan kembali semangat gerakan reformasi yang sering dibangun selama ini.

Dalam konteksnya dengan perjalanan reformasi di daerah maka, Bagi Maluku, akan ada dua issue besar yang menjadi problem nasional dewasa ini yang memungkinkan reformasi kebijakan  Pemerintah Pusat dalam menjawab tuntutan pembangunan di daerah yakni reformasi di bidang energi maupun reformasi di bidang perikanan Maluku. Dua sektor ini butuh kebijakan khusus dari Pemerintah Pusat, karena nyatanya, bidang energi maupun sektor perikanan di Maluku masih belum mendapat respons yang baik oleh Presiden selaku Kepala Pemerintahan dinegara. Maka selayaknya masyarakat Maluku begitu giat ingin menuntut kebijakan pemerintah pusat agar fokus kebijakan di bidang energi maupun perikanan di Maluku harus diperhatikan pembangunan sektoralnya.

Reformasi Energi  
Sektor pertambangan dan Energi bagi Maluku, masih menyimpan masalah krusial di pemerintah pusat. Tanggung jawab besar pemerintah pusat dalam mereformasi kebijakan nasional di bidang energi masih setengah hati, artinya pengembangan energi daerah kurang begitu banyak mendapat perhatian pempus. Tengok saja, Nasib Tambang energi besar di (Maluku Barat Daya) MBD Provinsi Maluku masih dipertanyakan. PI 10 % di Blok Masela yang merupakan hak kepemilikan pemerintah Provinsi Maluku masih saja menjadi polemik bersama antara pihak Pertamina, maupun Pemprov NTT. Klaim kepemilikan antara tiga pihak kekuasaan ini masih terus berlanjut namun belum ada kepastian final untuk siapa PI 10 % yang akan diberikan.

Pemerintah Provinsi Maluku malah dihadang ujian berat, tidak hanya dihadang Pertamina maupun Pemda NTT, tapi juga harus menuntut pihak Pemerintah Pusat agar PI 10 % jatuh ke tangan pemerintah daerah Maluku. Kini nasib PI 10 % di Blok Masela tinggal menunggu keputusan pemerintah pusat. Masayarakat Maluku hanya berharap, agar hak kepemilikan itu diberikan kepada Maluku bahkan dinaikan nilai hak kepemilikannya sehingga mampu mempengaruhi peningkatan pembangunan daerah yang dirasakan langsung oleh masyarakt.

Namun ironis memang, perjuangan Pemerintah Daerah Maluku dalam mendorong Pempus atas pemberian hak kepemilikan PI 10 % kepada Maluku terindikasi punya kepentingan besar salah satu pejabat khusus didaerah ini.  Sindikat kuat soal energi di Blok Masela sangat memiliki keterikatan politik yang kuat dengan salah satu kontraktor besar perusahaan ternama di PT SABAS. Dimana perusahaan yang bergerak dibidang pertambangan ini rencananya akan disiapkan oleh Pemda Maluku dalam mengelola dan menggarap tambang energi yang berada di kawasan Blok Masela tersebut. Pemilik perusahaan yang juga katanya salah satu kader PDIP ini  juga ternyata memiliki relasi politik dengan orang nomor satu di daerah ini. Sehingga proyeksi pengelolaan migas energi di Blok Masela akan menguntungkan kelompok tetrtentu.

Kondisi ini bukan tanpa diduga, tapi besar kemungkinan transaksi politik energi akan mengauat pada saat pembagain hasil dari 10 % yang dijanjikan tersebut. Oleh karena itu, orientasi kebijakan dalam pengelolaan energi dengan jatah PI 10 % di Blok Masela sudah dipastikan akan menguntungkan para pejabat besar di Maluku tersebut.

Belum lagi dampak krusial diatas akan membuka keran potensi pengelolaan energi PI 10 % Blok Masela akan dibawah kekuasaan para mafia energi di Maluku. Artinya, transaksi politik dalam pengelolaan ekonomi energi antara mafia energi dengan pemerintah daerah tak akan terhindarkan. Dengan perhitungan mega proyek Blok Masela cukup menggiurkan nilai profitnya.  Oleh karena itu, PI 10 % bagi masyarakat Maluku akan tidak ada manfaatnya, pasalnya yang mengelola hak-hak kepemilikan energi tersebut langsung diambil kelola oleh para broker dan mafia energi yang sudah diatur oleh pemerintah daerah Maluku. Tentu rakyat tidak akan diuntungkan dari sisi kepemilikannya malah semakin membuat pejabat di Maluku ikut kaya dalam proyek ini. 

Tidak hanya problem pengelolaan migas yang akan menguntungkan para elite, tapi masalah lain yang juga hadir di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Maluku. Perusahaan daerah ini cukup impotensial terhadap konsep pengembangan energi di Blok Masela. Paslnya, orang-orang yang duduk dalam perusahaan daerah itu adalah para politisi yang tidak mempunyai besik strtegi pengembangan dan pengelolaa tambang energi di Maluku. Di kawatirkan proyek di Blok Masela akan menjadi lahan profit bagi pejabat di perusahaan daerah tersebut. Bagaimana ingin mengelola potensi pertambangan energi jika perusahaan daerah Maluku di kuasai dan diapit oleh para politisi di daerah. Sangat mustahil memang jika melihat fenomena kepemimpinan di daerah ini. Semua proyek  besar dibangun dan dikelola dengan punya hasrat kepentingan elit daerah tapi tidak untuk kemaslahatan umat di Maluku. Mau jadi apa negeri ini, jika perilaku birokrat maupun pejabat daerah hanya mengejar keuntungan proyek semata.

Oleh karena itu, butuh reformasi kepemimpinan di badan perusahaan daerah tersebut, agar transformasi pengelolaan energi bisa terkelola secara baik. Hal ini perlu dikaji kembali oleh pemerintah daerah terhadap struktur politik kekuasaan di badan perusahaan daerah itu. Juga manajemen pengelolaan energi yang disiapkan pemerintah daerah Maluku agar tidak bersanding dengan para mafia energi. Niscaya ekspektasi pengelolaan PI 10 % dari Blok Masela yang diperoleh oleh Maluku mampu menjembatani pembangunan di Maluku. 

Reformasi Perikanan
Selain reformasi energi yang disebutkan diatas, Perikanan Maluku juga sangat membutuhkan aspek kebijakan baru yang strategis. Terhadap Lumbung Ikan Nasional (LIN) yang masih harus diperjuangkan butuh kebijakan khusus dari Pemerintah Pusat. Kenapa cerita soal Payung Hukum masih lemah, karena Maluku tidak hanya dinilai dari daya pressure politiknya, akan tetapi kesiapan SDM di bidang perikanan yang kurang mumpuni, membangun struktur pembangunan perikanan yang belum disipakan, serta industri perikanan yang juga harus di bangun juga belum terbangun.

Hal ini dianggap penting sehingga menarik perhatian pemerintah pusat untuk memberikan pemberlakuan LIN di Provinsi Maluku. Jika Maluku memiliki potensi dan penghasil ikan cukup besar, maka sejatinya harus didukung dengan daya infrstruktur pembangunan Perikanan yang memadai pula. Sehingga ikut bersinergi dalam membangun pembangunan perikanan Maluku sebagai kawasan daerah penghasil ikan terbesar di Indonesia.

Pemerintah daerah Maluku sudah saatnya harus membanguan infrastruktur pembangunan perikanan didaerah termasuk membangun kawasan industri bagi pengolahan ikan di Maluku. Langkah ini sangat dinilai penting terhadap prasarat pembangunan perikanan dalam kesiapan Pemda Maluku menyambut Lumbung Ikan Nasional. Hal ini kemudian tentu akan menguji komitmen politik pemerintah daerah yang  dalam mereformasi kebijakannya di tingkat lokal jika ingin tetap mengharapkan LIN untuk diberlakukan di Maluku. Sehingga upaya pempus dalam mengembangkan kawasana perikanan Maluku dapat dijawab dengan pemberlakuan LIN bagi Maluku.

Maluku kini diakui secara defakto sebagai daerah yang memiliki luas laut yang sangat besar, artinya potensi ikan juga ikut bergelimpangan didalmnya. Dalam artian, Maluku butuh kebijakan khusus tentu untuk merubah paradigm pembangunan yang awalnya dicanangkan berdasar luas kontinental, harus mereformasi kedalam kebijakan dengan dihitung luas laut yang diperioleh. Ini tentu ikut mereposisi kebijakan pempus agar lebih melihat kondisi perikanan Maluku.  Bukan hanya memberikan janji dan pepesan kosong yang tak ada artinya bagi Maluku dengan pencanangan daerah sebagai Lumbung Ikan Nasional. Sehingga reformasi kebijakan pempus di bidang perikanan harus segera di rubah mainset kebijakannya di bidang kelautan khususnya di Provinsi Maluku.

Oleh karena itu, dalam membangun karakter pembangunan sektoral di Maluku maka, kedua momentum issue besar diatas juga harus didukung dengan perubahan karakter kebijakan reformasi yang sentralistis dari bidang pengembangan kawasan energi dan perikanan menjadi kawasan terpadu pengembangan di Maluku. Segala kepentingan hak politik masyarakat Maluku akan terpenuhi jikalau pemerintah daerah dari aspek kesiapan dan manajemen kepemimpinannya ikut berbenah sehingga fokus kebijakan pempus juga akan diperhatikan di dua sektor ini.

*   Penulis adalah Pengurus HMI Cabang Ambon Wakil Sekretaris Umum bidang Partisipasi Pembangunan Daerah (PPD) Periode : 2012-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar