Minggu, 25 November 2012

Sabtu, 17 November 2012

Bhineka Tunggal Ika, Merupakan Anugerah bagi Bangsa

AMBON - Falsafah berbeda-beda tetap satu atau Bhineka Tunggal Ika, merupakan suatu anugerah bagi bangsa Indonesia, dalam keragamannya. Landasan Bhineka Tunggal Ika, mengidentifikasikan kalau bangsa Indonesia dihuni oleh ragam komunitas dan budaya masyarakat, tapi memiliki jiwa dan raga yang satu, untuk tetap hidup rukun dalam bingkai Kesatuan Negara Republik Indonesia (NKRI).

“Bhineka Tunggal Ika merupakan anugerah dan keindahan bagi Indonesia,” ujar Budayawan dan Tokoh Filsafat Maluku M Noer Tawainela, saat mengisi materi pada Dialog Publik lintas OKP yang digelar di Gedung Ashari al-Fatah, Jumat, 16 November.

Bhineka Tunggal Ika meru­pakan moto atau semboyan bangsa Indonesia.

Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno, dan seringkali diter­jemah­kan dengan kalimat, “Ber­beda-beda tetapi tetap satu”. Ka­ta bhineka berarti “beraneka ragam” atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Sanskerta berarti “macam”, dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti “satu”. Kata ika sendiri artinya “itu”.

Secara harfiah Bhineka Tung­gal Ika diterjemahkan se­bagai, “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan.

Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Itulah sebabnya, simbol Bhineka Tunggal Ika, tidak hanya dimaknai sebagai pribahasa, namun lebih dari itu, harus diaplikasikan dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia saat ini, yang setiap hari diterpa dengan pertikaian sosial. Ketika semua orang sudah memahami dengan baik makna Bhineka Tunggal Ika, maka rasa untuk saling memusuhi dan saling menyerang dapat dihindarkan.

Menurut staf pengajar di IAIN Ambon ini, Bhineka Tunggal Ika, juga merupakan wujud kesempurnaan kehidupan masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Dari alasan inilah, bangsa Indonesia bebas menjalankan hidupnya di seluruh wilayah NKRI, kendati pada budaya, ras, agama dan bahasa yang berbeda pada komunitas itu, ujar dia.

Sementara Anggota DPD-RI asal Provinsi Maluku Anna Latuconsina, yang juga hadir sebagai pemateri pada diskusi ini menjelaskan, Bhineka Tunggal Ika, jangan hanya dijadikan sebagai simbol atau slogan semata. Karena Bhineka Tunggal Ika, merupakan simbol untuk mengikat hubungan sosial kehidupan masyarakat Indonesia dalam keberagamanan. DPD-RI sendiri, kata dia, menaruh rasa prihatin terhadap sikap dan kehidupan sosial masyarakat, yang akhir-akhir ini mulai terkikis empat pilar kebangsaan dari kehidupan mereka.

Banyak hal yang sudah mulai dilumpakan oleh masyarakat, dan seolah tidak lagi digunakan oleh warga, sebagai simbol kehidupan yang aman dan rukun. Salah satunya, termasuk nilai-nilai praktek dari Bhineka Tunggal Ika, itu sendiri.

Alasan inilah, yang kemudian menurut dia, DPD-RI memiliki tugas penting untuk terus melakukan sosialisasi empat pilar bangsa. Sosialisasi dimaksud, agar dapat menggugah kembali keyakinan masyarakat Indonesia terhadap manifestasi nilai-nilai kebangsaan itu. Agar keutuhan NKRI tetap terjaga secara kokoh. “Tujuannya agar masyarakat mampu memahami dan menyadari sungguh bahwa falasafah kenegaraan sangat penting,” tegas Anna. Penguatan nilai empat pilar kebangsaan sendiri, sudah dilakukan sejak zaman orde baru.

Hanya saja, penguatan itu kurang begitu fokus terhadap kebutuhan dan kepahaman masyarakat sendiri. Sebut dia, pada zaman orde baru, ada istilah Pedoman, Penghayatan, Pengamalan dan Pancasila (P4). Pada zaman reformasi ini, P4 sudah dihilangkan. Kalau pada zaman orde baru, P4 bahkan menjadi kurikulum pendidikan, maka di reformasi justru telah hilang. Olehnya itu, empat pilar kebangsaan kata dia, patut dikembalikan lagi demi kelangsungan hidup masyarakat Indonesia, baik sekarang maupun pada masa mendatang. (CR2)