Nasib "LIN" di Tangan Siapa *
Oleh : Wahada Mony **
Argumentasi
judul tulisan diatas patut dipertanyakan publik Maluku. Setelah dua
tahun lalu masyarakat Maluku baru saja melewati susksesnya ivent Sail
Banda yang prestisius pada 2010 lalu. Salah satu paket kebijakan
nasional yang di usung kala itu yakni, Maluku Siap menjadi Daerah
Lumbung Ikan nasional (LIN). Kini sudah dua tahun janji Pempus dalam
pemberlakuan LIN di Maluku masih menjadi pekerjaan rumah besar. Tak
pasti kapan komitmen pemerintah pusat dalam merealisasikan issue agenda
tersebut, kini masih menjadi teka-teki politik di Daerah. Siapa pihak
yang harus di salahkan, apakah Pemda yang memiliki nilai bargaining
lemah di Pempus, ataukah Pempus yang enggan dan sibuk dengan urusan
kebijakan pemerintahan negara lainnya?, ataukah benar ada faktor lain
yang profit dan menjanjikan namun tak kesampaian hingga membuat
Pemerintah Daerah (Pemda) hilang kendali gairah politiknya ?.
Beberapa
pertanyaan krusial diatas butuh kajian panjang untuk dijawab, meskipun
LIN sampai saat ini masih harus diperjuangkan untuk kepentingan
pembangunan Maluku di masa depan. Artinya, masih ada prospek nilai
pembangunan terutama di sektor pengembangan perikanan yang ekspektatif
bagi pemerintah daerah untuk memperjuangkan eksistensi LIN di daerah.
Kini
status keberadaan LIN di Provinsi Maluku butuh dorongan kuat secara
massif di daerah untuk dinaikan tingkat perjuangannya menjadi satu
kebijakan pempus. Untuk itu, issue LIN harus menjadi konsumsi publik
secara kolektif bukan hanya pada tataran para pengambil kebijakan di
daerah ini.
Fenomena LIN di Maluku
Saat
pelaksanaan Sail Banda tahun Lalu, Pemerintah Daerah Maluku cukup getol
mengkampanyekan program LIN kepada pemerintah pusat. Akan tetapi,
belakangan semangat keinginan Pemda terlihat mulai susut. Bahkan issu
dalam membangun wacana LIN di daerah kian sepi dari peredaran publik.
Justru masyarakat patut menduga potensi keinginan dari sikap pemda di
balik perjuangan dan keinginan keras dalam melobi LIN tersebut.
Di
satu sisi, Pemerintah daerah bisa dibilang terkesan memaksakan kehendak
pemerintah pusat untuk merealisasikan program kebijakan LIN di daerah.
Hal ini tanpa didukung dengan kesiapan pemda secara matang dalam
menyonsong kebijakan khusus LIN tersebut. Namun dilain sisi juga baik
pemda maupun pempus butuh aturan main guna mengatur arah dan konsepsi
nasional pembangunan Lumbung Ikan Nasional bagi Maluku.
Pemda
hanya berharap, dengan LIN bagi Maluku akan membuka keran dan
kesenjangan pembangunan di sektor Perikanan dan Kelautan. Ada kebijakan
anggaran khusus pempus yang sepatutnya layak siap kelola untuk proses
pengembangan kawasan sektor ini. sehingga kebijakan budgetingnya turut
mengakomodasi seluruh kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Namun
secara ekonomis, konsep LIN malah akan menjadi lahan profit bagi elit
lokal di Maluku. Cukup ironis memang, jika pemda dalam melobi akses
kebijakan LIN tercium “bau tak sedap” dari dalam gedung pemerintah
daerah tersebut. Lobi-lobi politik proyek seakan tak terhindarkan dalam
job ini. hal ini bukan tanpa alasan.
Kampanye LIN bagi
pemerintah daerah sendiri belum ditemukan seiring dengan format
pembangunan yang terarah dan siapp di canangkannya. Baik dari aspek
kesiapan pemerintah daerah dalam pengembangan kawasan padat karya
perikanan, manajemen dan strategi pengelolaan anggaran perikanan,
peningkatan pendapatan nelayan pesisir hingga pencapaian target
pembangunan perikanan yang terpadu. Bisa dikatakan, Pemerintah hanya
mengejar target nilai persentasi dari kebijakan budgeting LIN di Maluku
tanpa tujuan pembangunan yang pasti. Hal ini bukan lagi menjadi rahasia
umum bagi publik Maluku. Oleh karena itu, lambannya program LIN
diberlakukan di Maluku karena hitung-hitungan angka fee budgeting yang
harus di peroleh kedalam program paket LIN tersebut.
Kelemahan
pemerintah daerah juga dalam mendorong perjuangan LIN di Maluku juga
tidak serta merta diikuti dengan terobosan kebijakan politik pemda yang
siap dan layak jual kedalam konsepsi pembangunan lokal. Adanya
kelembagaan maupun hak-hak masyarakat adat pesisir yang minim
teroragnisir bahkan tak terlihat sama sekali. Yang dikhawatirkan,
Kedepan LIN akan membuka lahan korupsi baru bagi pemerintahan daerah.
Maka akan berdampak pada destrukturisasi pembangunan perikanan Maluku
secara massif. Selain kurang koordinasinya desaign konsep pembangunan
perikanan dengan hak luas laut daerah yang dipunyai sebesar 12 Mil dari
garis pantai, laut perikanan Maluku yang di garap habis akibat
beroperasinya kapal-kapal besar asing dengan tonase besar di selat-selat
sempit tanpa pembatasan. Ini yang sesungguhnya pemerintah daerah tanpa
kesiapan justru mala mengarahkan liberalisasi perikanan laut Maluku yang
mengabaikan masyarakat lokal di daerah.
Kini kiprah LIN
semakin redup nasibnya, pemerintah daerah tidak lagi giat mempresurenya
ke tingkat pemerintah pusat dalam bentuk kebijakan khusus pemerintah.
Karena merasa kurang diperhatikan pempus, pemerintah daerah malah justru
membalikan tangan tanpa mempedulikannya. Karena Jika orientasi
mementingkan kesejahteraan rakyat di daerah maka bukan tanpa alasan
untuk memperjuangkannya. Tapi penulis menduga, justru pembagian jatah
fee budgeting yang dikejar pemda untuk kepentingan high elite lokal di
Maluku.
Belum lagi kebijakan LIN di pemerintah pusat yang
masih terbentur Peraturan Pemerintah Pusat. Artinya pempus secara
nasional masih kurang meresponi pemberlakuan LIN di Maluku. Tentu butuh
pressure secara politik dari seluruh elemen masyarakat Maluku upaya
mendorong pempus dalam melegalkan eksistenasi LIN sebagai kebijakan
khusus di Maluku. Meskipun terjadi peralihan nahkoda kepemimpinan di
kemeterian perikanan dan kelautan pada reshuffle kabinet lalu. Reformasi
kebijakan LIN harus terus di perjuangkan demi kemajuan daerah dan
kesejahteraan masyarakt di Maluku.
Kini usia
pemerintahan kepemimpinan Ralahalu-Assagaf (RASA) hanya tinggal satu
tahun lagi. Tahta kekuasaan pun sebentar lagi akan ditinggalkan oleh
kedua penguasa daerah ini. untuk itu, LIN tinggal menunggu etape
perjuangan selanjutnya dari kepemimpinan ini. Jika tidak meloloskan LIN
di Maluku dalam sisa waktu masa pemerintahan ini maka, sejatinya nasib
LIN bak mimpi di siang bolong bagi pemerintah daerah.
Yang
di takutkan sekarang, justru LIN mala akan digadang-gadang menjadi
strtegi politik nantinya bagi perhelatan gubernur pada 2013 mendatang.
Sungguh malang nasib LIN di Maluku, sudah tidak dipedulikan malah akan
menjadi korban strategi politik bagi calon gubernur mendatang guna
mendongkrak popularitas kandidat. Benarkah LIN hanya sebatas mimpi
kososng pemerintah daerah Maluku, Wallahu alam Bishawab.
* Tulisan ini pernah dimuat di Harian Pagi Ambon Ekspres
** Penulis adalah Wakil Sekretaris Umum Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah (PPD) HMI
Cabang Ambon Periode 2012-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar